Maaf.
Untuk Tuan yang sempat mengetuk pintu dengan niat tinggal.
Lalu berbalik pulang dengan telapak kaki yang berdarah karena tak kuberi tahu.
Bahwa pelataran hatiku masih dipenuhi serpihan kaca, dari seseorang yang dulu kabur tanpa sempat mengemasi luka-lukanya sendiri.
Tuan mungkin datang dengan pelukan, dan sebagai gantinya aku hanya bisa menyodorkan bayang.
Menawarkan cahaya, tapi aku justru menutup jendela.
Karena sinar itu menyilaukan bekas tangis yang belum sempat mengering.
Tuan bilang ingin menyembuhkan.
Tapi siapa yang tahan tinggal di reruntuhan, yang setiap malam masih menangisi dinding yang retak?
Aku tidak sengaja mematahkan, tapi juga tidak cukup sembuh untuk menahan.
Aku terlalu sibuk menyatukan puing, hingga lupa yang datang bukanlah buruh konstruksi.
Melainkan jiwa tulus yang hanya ingin menumpang di tempat teduh.
Maaf kalau Tuan berharap taman.
Padahal yang Tuan temui adalah kebun sepi berlumur abu dan ranting patah, yang kutanam bersama nama yang tak lagi bisa dipanggil.
Tuan pantas disambut.
Tapi aku masih terlalu sibuk menyapu sisa pertempuran yang tak pernah benar-benar selesai.
Dan sungguh.
Aku meminta maaf, jika suatu hari Tuan merasa hancur karena aku.
Karena percayalah aku lebih dulu hancur sebelum akhirnya Tuan memutuskan untuk duduk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar