Ada aroma tanah basah yang masih lekat di ujung jariku, bekas dari tempat yang kini tak pernah benar-benar kuanggap asing, meski tak lagi ada sapaan hangat yang menyambutku.
Langkahku berat, tapi tetap kutempuh.
Sesekali angin menggugurkan kelopak kecil yang seharusnya jatuh ke bumi, tapi entah kenapa memilih jatuh ke pundakku.
Seperti pesan kecil yang tertinggal, seperti namamu yang enggan benar-benar hilang.
Tak banyak yang kubicarakan di sana,
hanya gumam lirih dan tatapan panjang ke arah batu yang sunyi.
Diam, seperti hatiku.
Diam, seperti semestanya kini.
Lalu aku pulang, membawa sejumput tanah merah di ujung sepatu, dan sepotong rindu yang semakin tak tahu harus ditanam di mana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar