Langkahku perlahan menyusuri jalan setapak yang mulai ditelan oleh bayang-bayang senja.
Suara burung walet terdengar samar di atas dahan, mereka seperti sedang berpamitan pulang ke sarangnya masing-masing.
Sedangkan aku, justru mendatangi tempat yang akhir akhir ini sering kali kusebut pulang.
Aku duduk di dekat pusaramu.
Tak banyak bicara, hanya menatap gundukan tanah itu sambil membiarkan angin membelai rambutku.
Mereka bilang kau telah tenang.
Tapi kenapa aku yang masih gelisah?
Aku meraba batu nisanmu seperti meraba punggungmu dulu, mencari hangat yang sudah tak ada.
Sambil membawa beberapa tangkai bunga kesukaanmu, dan segenggam cerita yang tak sempat selesai.
Di tempat ini, aku selalu merasa ganjil.
Ada perasaan ingin marah, tapi juga ingin menangis dan memeluk gundukan itu, memaksamu kembali.
Tapi tentu saja, tak ada yang bisa kembali dari yang sudah benar-benar pergi.
Burung-burung mulai menghilang, langit pun menggelap pelan, dan aku masih di sini, berbincang dengan diam, dengan tanah, dengan sore yang tahu betul, bahwa aku belum pernah benar-benar melepaskanmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar