Minggu, 29 Juni 2025

Ini Bukan Puisi

(Tulisan ini dilahirkan olehku dan temanku Ongku)




Aku bukan penyair, hanya perasa yang mencoba bersuara.

Aku tak sedang menulis puisi, aku hanya tengah membedah isi dadaku dan menuangnya ke dalam kata-kata, yang rasanya terlalu sempit untuk menampung semua rasa sesak.


Aku bukan penyair atau binatang jalangnya chairil.

Yang pernah mencoba mempertemukan peluru dengan kulitnya.

Aku tak sedang menulis puisi

kata-kata

mengendap-ngendap

kawin sendiri dengan tinta merah

yang menjalar dari nganga luka

menuju raung terdalam

yang tak sempat 

aku tafsirkan satu persatu.


Jangan sebut aku penyair.

Karena aku tak pernah belajar, cara merangkai metafora dengan elegan.

Aku hanya memungut serpihan emosi dan menjahitnya dengan jari berdarah.

Agar tidak tercecer di lantai pikiranku yang sudah penuh bangkai perasaan.


Jangan sebut aku penyair

apalagi penyihir 

karena aku tak punya cermin ajaib

yang bisa mengatakan

puisi mana yang lebih merah

dari rambutku.





Pintu Masuk Menuju Reruntuhan




Maaf.

Untuk Tuan yang sempat mengetuk pintu dengan niat tinggal.

Lalu berbalik pulang dengan telapak kaki yang berdarah karena tak kuberi tahu.


Bahwa pelataran hatiku masih dipenuhi serpihan kaca, dari seseorang yang dulu kabur tanpa sempat mengemasi luka-lukanya sendiri.


Tuan mungkin datang dengan pelukan, dan sebagai gantinya aku hanya bisa menyodorkan bayang.


Menawarkan cahaya, tapi aku justru menutup jendela.

Karena sinar itu menyilaukan bekas tangis yang belum sempat mengering.


Tuan bilang ingin menyembuhkan.

Tapi siapa yang tahan tinggal di reruntuhan, yang setiap malam masih menangisi dinding yang retak?


Aku tidak sengaja mematahkan, tapi juga tidak cukup sembuh untuk menahan.


Aku terlalu sibuk menyatukan puing, hingga lupa yang datang bukanlah buruh konstruksi.

Melainkan jiwa tulus yang hanya ingin menumpang di tempat teduh.


Maaf kalau Tuan berharap taman.

Padahal yang Tuan temui adalah kebun sepi berlumur abu dan ranting patah, yang kutanam bersama nama yang tak lagi bisa dipanggil.


Tuan pantas disambut.

Tapi aku masih terlalu sibuk menyapu sisa pertempuran yang tak pernah benar-benar selesai.


Dan sungguh.

Aku meminta maaf, jika suatu hari Tuan merasa hancur karena aku.


Karena percayalah aku lebih dulu hancur sebelum akhirnya Tuan memutuskan untuk duduk.






Terlalu Nyaring Untuk Dicintai




Kata mereka, luka hanya akan sembuh bila tak disentuh terlalu sering.


Maka kubungkus ratapku dalam suara serak, yang bergetar di balik dinding tenggorokan yang dikunci.


Tapi barangkali aku memekik terlalu keras, hingga gaungnya memantul teramat tajam.


Dan berakhir menciptakan bising gema dari dadaku, yang membuat para pengelana gentar untuk sekadar mengetuk.


Siapa yang sudi mendekat pada cahaya yang menyilaukan bukan karena indah, membutakan yang ingin mendekat dengan kilatan kegilaan dari mataku.


Mungkin itulah mengapa tak satu pun tapak, berani tinggal di pelataran jiwaku.


Dan barangkali langkahku terlalu berisik, atau mataku terlalu jujur menyimpan badai


Menyesatkan arah mereka yang hanya ingin berlayar dalam ketenangan.


Dan bila semua lorong telah kutelusuri, semua pintu tak lagi menjawab, kepada siapa lagi harus kutawarkan tangan ini?


Atau haruskah aku mulai bersahabat, dengan bisu yang selama ini tak pernah meninggalkan?







Predator Musim Dingin




Di antara jatuhnya salju yang tak pernah ditanya kenapa turun.

Aku memilih diam.

Bukan karena pasrah, tapi karena aku malas menempeli seluruh tubuhku dengan bulu kepura puraan.


Mereka bilang aku lari, padahal aku hanya masuk waktu hibernasi.

Seperti hewan liar yang memilih tidur panjang daripada terus menerkam.


Ironisnya manusia adalah makhluk paling cerewet yang selalu merasa berhak menuntut penjelasan atas sepinya orang lain.


Dan katanya aku berubah.

Padahal yang berubah itu ekspektasi mereka.

Aku hanya sedang tak mau lagi menjadi hewan sirkus di panggung pertunjukan.


Dimana akhirnya aku diizinkan untuk berlindung?

Karena rupanya setiap sudut persembunyian dipaksa harus dilaporkan, harus diperiksa, dituduh sebagai bentuk kelemahan.


Dan saat akhirnya kukeluarkan cakarku. Mereka semua mulai mengecam.


Padahal ku keluarkan bukan untuk menyerang, hanya untuk mempertahankan ruangku sendiri.


Aku disebut buas.

Padahal selama ini, aku cuma berusaha tidak mati dibekukan oleh dinginnya tuntutan kalian.






Tuhan-Tuhan Berkaki Dua




Terima kasih.

Atas segala petunjuk jalan yang tak pernah kuminta.

Kalian begitu sibuk menuntunku keluar dari jurang yang bahkan tak pernah kupijak.


Bersantai duduk manis di singgasana kesimpulan, memvonis dengan wajah penuh simpati yang harum oleh dupa penghakiman.


Apa rasanya menjadi Tuhan yang berkeliaran tanpa langit?

Yang merasa setiap keputusan orang lain adalah medan tugas suci untuk kalian luruskan…

Dengan nada tinggi dan wajah penuh belas kasihan.


Aku hanya ingin bernapas, tanpa harus meminta izin pada tangan-tangan asing yang sibuk mengatur kapan aku boleh terluka, dan bagaimana cara meratap yang sopan.


Jangan ajarkan aku cara hidup jika hidup kalian pun masih penuh kepura-puraan yang dibungkus ayat, dibungkus aturan, dan standar yang kalian ciptakan untuk menutupi kekosongan sendiri.


Sekali lagi aku bukan tanah liat untuk kalian bentuk seenaknya. 

Jika aku retak, biarlah.

Biar retakku tumbuh bunga liar, bukan diperbaiki oleh tangan-tangan yang tak pernah mau mengerti.





Sabtu, 21 Juni 2025

Perayaan Luka Tahunan




Hari ini, seperti jam rusak yang tetap berdetak.

Aku kembali duduk di antara lilin tak bernyala, dengan tepuk tangan yang tak pernah benar-benar terasa hangat.


Langit pun turut berlakon dengan berpura-pura cerah.

Padahal aku tahu, ini hanyalah pertunjukan tahunan.

Tempat luka-luka lama dipoles menjadi senyum, yang harus kupakai sampai malam.


Mereka datang membawa kado yang dibungkus dengan basa-basi.

Mengucapkan kalimat yang tak pernah mereka maknai, sementara aku hanya ingin satu hal "Berdiam diri."


Tak perlu kue yang dihiasi pernak pernik lucu.

Juga tak perlu lagu untuk mengiringi sebuah melodi kematian.

Karena yang kurayakan hari ini bukan sebuah pertumbuhan.

Tapi bertambahnya beban yang harus kuseret tanpa bantuan siapapun.

Hari ini, aku resmi menjadi lebih tua dalam hal berpura-pura.


Selamat untukku.

Atas keberanian untuk tetap hidup di dunia, yang ingin kuludahi setiap pagi.







Sekuat Itu Katanya




Aku pernah disebut kuat, oleh mereka yang bahkan tak pernah tau rasanya menjadi semut, di tengah parade gajah yang mabuk kuasa.

Yang bisa diinjak kapan saja, dan tetap dianggap tidak penting.


Tubuhku lemah, rapuh seperti kelopak kering yang dipaksa mekar di musim kemarau.

Tapi mereka lebih suka melihatku tersenyum sambil berdarah, karena katanya itu tanda ketabahan.


Bahkan luka-luka ini bukan lagi rahasia, hanya irisan-irisan yang kubuat sendiri karena dunia terlalu sunyi untuk mendengar jerit.


Terkadang, aku ingin tahu.

Apakah jika kutulis rasa sakitku di kulit, mereka akhirnya akan membacanya?


Lalu ada ribuan bulir mutiara yang terjatuh.

Air mata, katanya.

Indah, katanya.

Padahal itu adalah bentuk cair dari rasa sesak yang tak lagi punya ruang untuk sembunyi.





Ini Bukan Puisi

(Tulisan ini dilahirkan olehku dan temanku Ongku) Aku bukan penyair , hanya perasa yang mencoba bersuara . Aku tak sedang menulis puisi , ak...