Minggu, 29 Juni 2025

Ini Bukan Puisi

(Tulisan ini dilahirkan olehku dan temanku Ongku)




Aku bukan penyair, hanya perasa yang mencoba bersuara.

Aku tak sedang menulis puisi, aku hanya tengah membedah isi dadaku dan menuangnya ke dalam kata-kata, yang rasanya terlalu sempit untuk menampung semua rasa sesak.


Aku bukan penyair atau binatang jalangnya chairil.

Yang pernah mencoba mempertemukan peluru dengan kulitnya.

Aku tak sedang menulis puisi

kata-kata

mengendap-ngendap

kawin sendiri dengan tinta merah

yang menjalar dari nganga luka

menuju raung terdalam

yang tak sempat 

aku tafsirkan satu persatu.


Jangan sebut aku penyair.

Karena aku tak pernah belajar, cara merangkai metafora dengan elegan.

Aku hanya memungut serpihan emosi dan menjahitnya dengan jari berdarah.

Agar tidak tercecer di lantai pikiranku yang sudah penuh bangkai perasaan.


Jangan sebut aku penyair

apalagi penyihir 

karena aku tak punya cermin ajaib

yang bisa mengatakan

puisi mana yang lebih merah

dari rambutku.





Pintu Masuk Menuju Reruntuhan




Maaf.

Untuk Tuan yang sempat mengetuk pintu dengan niat tinggal.

Lalu berbalik pulang dengan telapak kaki yang berdarah karena tak kuberi tahu.


Bahwa pelataran hatiku masih dipenuhi serpihan kaca, dari seseorang yang dulu kabur tanpa sempat mengemasi luka-lukanya sendiri.


Tuan mungkin datang dengan pelukan, dan sebagai gantinya aku hanya bisa menyodorkan bayang.


Menawarkan cahaya, tapi aku justru menutup jendela.

Karena sinar itu menyilaukan bekas tangis yang belum sempat mengering.


Tuan bilang ingin menyembuhkan.

Tapi siapa yang tahan tinggal di reruntuhan, yang setiap malam masih menangisi dinding yang retak?


Aku tidak sengaja mematahkan, tapi juga tidak cukup sembuh untuk menahan.


Aku terlalu sibuk menyatukan puing, hingga lupa yang datang bukanlah buruh konstruksi.

Melainkan jiwa tulus yang hanya ingin menumpang di tempat teduh.


Maaf kalau Tuan berharap taman.

Padahal yang Tuan temui adalah kebun sepi berlumur abu dan ranting patah, yang kutanam bersama nama yang tak lagi bisa dipanggil.


Tuan pantas disambut.

Tapi aku masih terlalu sibuk menyapu sisa pertempuran yang tak pernah benar-benar selesai.


Dan sungguh.

Aku meminta maaf, jika suatu hari Tuan merasa hancur karena aku.


Karena percayalah aku lebih dulu hancur sebelum akhirnya Tuan memutuskan untuk duduk.






Terlalu Nyaring Untuk Dicintai




Kata mereka, luka hanya akan sembuh bila tak disentuh terlalu sering.


Maka kubungkus ratapku dalam suara serak, yang bergetar di balik dinding tenggorokan yang dikunci.


Tapi barangkali aku memekik terlalu keras, hingga gaungnya memantul teramat tajam.


Dan berakhir menciptakan bising gema dari dadaku, yang membuat para pengelana gentar untuk sekadar mengetuk.


Siapa yang sudi mendekat pada cahaya yang menyilaukan bukan karena indah, membutakan yang ingin mendekat dengan kilatan kegilaan dari mataku.


Mungkin itulah mengapa tak satu pun tapak, berani tinggal di pelataran jiwaku.


Dan barangkali langkahku terlalu berisik, atau mataku terlalu jujur menyimpan badai


Menyesatkan arah mereka yang hanya ingin berlayar dalam ketenangan.


Dan bila semua lorong telah kutelusuri, semua pintu tak lagi menjawab, kepada siapa lagi harus kutawarkan tangan ini?


Atau haruskah aku mulai bersahabat, dengan bisu yang selama ini tak pernah meninggalkan?







Predator Musim Dingin




Di antara jatuhnya salju yang tak pernah ditanya kenapa turun.

Aku memilih diam.

Bukan karena pasrah, tapi karena aku malas menempeli seluruh tubuhku dengan bulu kepura puraan.


Mereka bilang aku lari, padahal aku hanya masuk waktu hibernasi.

Seperti hewan liar yang memilih tidur panjang daripada terus menerkam.


Ironisnya manusia adalah makhluk paling cerewet yang selalu merasa berhak menuntut penjelasan atas sepinya orang lain.


Dan katanya aku berubah.

Padahal yang berubah itu ekspektasi mereka.

Aku hanya sedang tak mau lagi menjadi hewan sirkus di panggung pertunjukan.


Dimana akhirnya aku diizinkan untuk berlindung?

Karena rupanya setiap sudut persembunyian dipaksa harus dilaporkan, harus diperiksa, dituduh sebagai bentuk kelemahan.


Dan saat akhirnya kukeluarkan cakarku. Mereka semua mulai mengecam.


Padahal ku keluarkan bukan untuk menyerang, hanya untuk mempertahankan ruangku sendiri.


Aku disebut buas.

Padahal selama ini, aku cuma berusaha tidak mati dibekukan oleh dinginnya tuntutan kalian.






Tuhan-Tuhan Berkaki Dua




Terima kasih.

Atas segala petunjuk jalan yang tak pernah kuminta.

Kalian begitu sibuk menuntunku keluar dari jurang yang bahkan tak pernah kupijak.


Bersantai duduk manis di singgasana kesimpulan, memvonis dengan wajah penuh simpati yang harum oleh dupa penghakiman.


Apa rasanya menjadi Tuhan yang berkeliaran tanpa langit?

Yang merasa setiap keputusan orang lain adalah medan tugas suci untuk kalian luruskan…

Dengan nada tinggi dan wajah penuh belas kasihan.


Aku hanya ingin bernapas, tanpa harus meminta izin pada tangan-tangan asing yang sibuk mengatur kapan aku boleh terluka, dan bagaimana cara meratap yang sopan.


Jangan ajarkan aku cara hidup jika hidup kalian pun masih penuh kepura-puraan yang dibungkus ayat, dibungkus aturan, dan standar yang kalian ciptakan untuk menutupi kekosongan sendiri.


Sekali lagi aku bukan tanah liat untuk kalian bentuk seenaknya. 

Jika aku retak, biarlah.

Biar retakku tumbuh bunga liar, bukan diperbaiki oleh tangan-tangan yang tak pernah mau mengerti.





Sabtu, 21 Juni 2025

Perayaan Luka Tahunan




Hari ini, seperti jam rusak yang tetap berdetak.

Aku kembali duduk di antara lilin tak bernyala, dengan tepuk tangan yang tak pernah benar-benar terasa hangat.


Langit pun turut berlakon dengan berpura-pura cerah.

Padahal aku tahu, ini hanyalah pertunjukan tahunan.

Tempat luka-luka lama dipoles menjadi senyum, yang harus kupakai sampai malam.


Mereka datang membawa kado yang dibungkus dengan basa-basi.

Mengucapkan kalimat yang tak pernah mereka maknai, sementara aku hanya ingin satu hal "Berdiam diri."


Tak perlu kue yang dihiasi pernak pernik lucu.

Juga tak perlu lagu untuk mengiringi sebuah melodi kematian.

Karena yang kurayakan hari ini bukan sebuah pertumbuhan.

Tapi bertambahnya beban yang harus kuseret tanpa bantuan siapapun.

Hari ini, aku resmi menjadi lebih tua dalam hal berpura-pura.


Selamat untukku.

Atas keberanian untuk tetap hidup di dunia, yang ingin kuludahi setiap pagi.







Sekuat Itu Katanya




Aku pernah disebut kuat, oleh mereka yang bahkan tak pernah tau rasanya menjadi semut, di tengah parade gajah yang mabuk kuasa.

Yang bisa diinjak kapan saja, dan tetap dianggap tidak penting.


Tubuhku lemah, rapuh seperti kelopak kering yang dipaksa mekar di musim kemarau.

Tapi mereka lebih suka melihatku tersenyum sambil berdarah, karena katanya itu tanda ketabahan.


Bahkan luka-luka ini bukan lagi rahasia, hanya irisan-irisan yang kubuat sendiri karena dunia terlalu sunyi untuk mendengar jerit.


Terkadang, aku ingin tahu.

Apakah jika kutulis rasa sakitku di kulit, mereka akhirnya akan membacanya?


Lalu ada ribuan bulir mutiara yang terjatuh.

Air mata, katanya.

Indah, katanya.

Padahal itu adalah bentuk cair dari rasa sesak yang tak lagi punya ruang untuk sembunyi.





Kepakan Sayap Terakhirmu




Kepakan sayapmu terdengar lirih, seperti angin yang tak sempat kuabadikan dalam genggam.

Kau terbang begitu ringan.

Meninggalkan jejak yang tak bisa kupeluk selain dengan ingatan.


Langit tak memberi aba-aba.

Hanya senyap, lalu kehilangan sinarnya.


Kau menjauh dengan tenang, seolah dunia ini tak lagi menyakitimu. 


Sementara aku tertinggal, dalam riuh sunyi yang tak tahu harus bagaimana aku menghadapinya tanpamu.


Andai kupunya sayap serupa, aku akan menyusulmu.

Bukan untuk menuntut pulang, tapi untuk mengatakan sebuah kalimat.

"Terbangmu begitu indah, tapi rinduku masih tertambat di tanah."





Persidangan di Dalam Kepala





Di ruang sunyi yang tak bertembok.

Aku duduk mematung di kursi penghakiman.

Tak ada palu, tak ada hakim.

Hanya suara-suara dari dalam dada yang berbisik,  seperti kutukan tak berkesudahan.


Aku seorang terdakwa.

Yang membunuh diriku sendiri.

Korban sekaligus pelaku tindak kriminal, yang tak pernah tercatat dalam undang-undang manapun.


Sekali lagi, disini tak ada saksi.

Hanya cermin yang terus memantulkan wajah penuh luka, yang kuakui milikku sendiri.


Tubuh ini jadi tempat peristiwa yang tak pernah selesai disesali.


Aku bukan lagi seseorang yang ingin diselamatkan.

Aku hanya ingin dimengerti, bahwa terkadang manusia tidak jatuh terpeleset.

Tapi melompat, dengan sengaja...




Memeluk Peran Sebagai Iblis




Mereka berdiri di bawah cahaya.

Dengan sayap putih yang disemprot parfum wewangian surga.

Menyebut dirinya malaikat, sambil membawa rantai yang tersemat di balik jubah mereka.


Katanya, mereka berburu dosa demi kebenaran.

Padahal yang mereka buru adalah aku.

Makhluk yang tak pernah meminta dilahirkan dalam bentuk berbeda.


Aku seorang iblis.

Setidaknya itu yang mereka teriakkan.

Saat aku memilih berkata jujur.

Saat aku menangis bukan di tempat yang sopan.

Saat aku marah tanpa menyisipkan senyum manis setelahnya.


Menjadi musuh? Boleh saja.

Jika itu artinya aku tidak akan berpura-pura suci lagi, maka biarlah.


Aku akan memakai tandukku dengan bangganya.

Sebab mereka yang bersayap pun ternyata tak lebih baik dari penghakiman yang mereka lemparkan.


Dan jikalau harus diburu, biarlah aku lari ke neraka yang kupilih sendiri. 

Daripada tinggal di surga, yang tak memberiku tempat untuk bernapas.




Neraka yang Kuciptakan Sendiri




Pernah aku hidup di dalam bara, yang kubakar dengan kedua tanganku sendiri.


Yang setiap hembusan napasnya terasa seperti kabut panas, melepuh dengan perlahan.

Tapi tak pernah membuatku mati sepenuhnya.


Dinding-dindingnya terbuat dari kenangan, yang mengulang luka seperti kaset sudah usang.

Tak pernah benar-benar berhenti.


Ada suara dalam diriku yang berteriak terus menyalahkan, seperti lolongan malam yang tak mempunyai akhirnya.

Dan aku duduk di tengahnya, menghitung dosa yang bahkan tak sempat kumengerti, menggenggam rindu yang tak bisa ditebus.


Mereka bilang neraka selalu ada di akhir hidup.

Tapi aku tahu, kadang neraka hanya tempat paling sunyi, yang dihuni oleh kita dan penyesalan yang tak sempat disampaikan.




Pelukan Sang Penguasa




Kau telah berlayar, meninggalkan dermaga yang tak sempat kupeluk terakhir kali.


Kini kau bernaung di balik tirai langit.

Di pelukan sang Penguasa abadi yang tak pernah mengizinkan siapapun kembali.


Namamu masih bergema di sela detak, seperti gema langkah yang tak pernah sampai ke depan pintu.

Aku masih mengirimmu kabar dalam bentuk doa, yang kuselipkan di antara kelopak waktu yang gugur satu-satu.


Kau jadi nyala yang tak bisa kupadamkan, meski tubuhmu telah menyatu menjadi bahasa bumi.


Dan aku, adalah jiwa yang masih berdiri di perbatasan.

Memanggilmu tanpa suara. 

Mengharapkan satu kedipan dari langit yang mengatakan bahwa rinduku telah diterima.





Bayanganmu yang Diam




Aku bermonolog dengan hantu yang menyerupaimu, di kamar yang masih menyimpan sisa aroma kepergian.


Ia menatapku dalam seperti yang kau lakukan dulu, dengan mata yang menyimpan tanya yang tak pernah sempat terjawab.


Kupikir aku akan terbiasa, namun rindu selalu datang seperti luka yang tidak bisa tidur.


Aku bicara tentang hari ini, tentang senja yang terasa asing sejak kau ikut menguap bersama kabut sore.


Hantu itu diam, tapi bayangmu terasa nyata.

Membuatku ingin menggenggam sesuatu yang tak bisa disentuh.


Aku tahu, ini hanya rindu yang menjelma jadi sosokmu.


Sebuah ilusi yang membuatku merasa tenang sejenak, meski sebenarnya hanya ocehan bisu yang terdengar.




Jumat, 20 Juni 2025

Setitik Rindu



Terlihat malam semakin larut, dan keheningan mulai menyapaku.

Rasa rindu pun kian menerpa seolah angin yang melambai-lambai.

Semua rasa itu hadir tanpa sengaja, mengolah kenangan menjadi nyata yang membuatku merasakan sakitnya, lalu hadirmu kemana?


Dinginnya malam membuatku semakin erat memeluk ragaku sendiri.

Adakah kamu juga merasakan apa yang tengah aku rasakan? 

Ah, sepertinya tidak. 

Sedari awal memang seperti itu kan? Hanya aku yang selalu berharap disini.


Aku selalu menjadi yang menantikan kamu pulang.

Dengan terus menggenggam harapan harapan yang semoga akan terkabulkan.

Berharap kamu tidak akan pergi.

Berharap kamu akan selalu kembali padaku.

Dan berharap kamu akan mencintaiku, selalu.




Surat dari Tangan yang Kosong




Aku ingin sekali menatapmu dengan pola mataku.

Tapi sayang redupmu terlalu menyala sehingga membuatku sulit menangkap bias wajahmu 

Mencoba berbicara dari hati ke hati walaupun hatinya sudah mati.

 

Bernafas didalam sana apakah tidak membuatmu sesak

Kembalilah, tanganku terasa kosong setelah kau memutuskan berkelana jauh

Ia merindukan Tuannya, rasanya dingin tidak lagi hangat seperti saat kau genggam dulu.


Aku mencoba mengiklaskan kepergianmu tapi rasanya sama saja seperti meminum racun, menyakitkan

Meskipun tidak langsung membunuhku, tapi perlahan turut mengikis jiwa dan kenangan, memudarkan segala yang ada...


Harap-harap disana ada Puan baru yang bisa menemanimu, meskipun di hati rasanya sangat membenci, tapi tak apa. 

Sebab ingin memaksa pun takkan ada yang bisa berubah


Berbahagialah dengan tenang Tuan.

Biarkan aku di sini sendiri, membusuk di tengah gelapnya malam.




Saksi Sebuah Gubuk



 

Kepergianmu adalah bukan kuasaku

Sudah menjadi hakmu untuk berkelana Tuan.

Tapi apa kau berkenan untuk singgah dan berteduh sebentar lagi di gubuk sederhanaku? 

Sambil menikmati rintik hujan dengan teh hangat yang sudah aku siapkan?


Aku tidak memaksamu untuk tetap di gubukku, apalagi memintamu untuk menjadi penghuninya.

Tapi Tuan, tidakkah kau sudi berbelas kasih untuk menemani Nona yang rapuh ini?

Sebentar saja Tuan, hanya sebentar.

Sampai Nona ini terlelap dan tenggelam oleh reruntuhan gubuknya sendiri. 

Aku berjanji ini tidak akan lama.




Cerita Singkat

 



Tidak semua kalimat tanya memiliki jawaban.

Tidak semua kalimat akhir menjadi ujung cerita.

Dan tidak semua bahagia bisa abadi.

Sangat disayangkan tapi itulah kenyataannya.

Ada di dalam cerita bersamamu memberikan warna baru untukku.


Tapi tidak semua plot berakhir dengan baik bukan?

Kita hanyalah seorang tokoh yang dikendalikan oleh si penulis.

Bertemu dan bercengkrama bersamamu adalah bab favoritku.

Walaupun banyak plot twist di dalam cerita ini yang membuat kita harus berpisah


Hahaha... 

Padahal aku sudah berharap di chapter-chapter berikutnya aku masih bisa bersamamu

Terimakasih, sangat senang berkenalan denganmu, tokoh favoritku.





Rabu, 18 Juni 2025

Sebuah Rencana Pengkhianatan




Orang-orang bilang waktunya untuk melanjutkan.

Melangkah ke depan.

Menata lagi yang berserak.

Tapi bagaimana bisa, kalau setiap langkah terasa seperti menginjak jejakmu yang masih hangat?


Aku takut.

Bukan karena aku lemah, tapi karena aku terlalu tahu rasanya kehilangan..


Dan melanjutkan hidup tanpamu, seolah menyetujui dunia yang tak lagi ada kamu di dalamnya.

Itu… rasanya sangat jahat.


Dan aku masih terpaku di sini.

Menjaga tempat kosong di sampingku seakan kamu hanya sedang pergi sebentar.

Menahan senyum agar tidak terlalu lebar, karena aku tahu kau tidak bisa ikut tertawa.

Dan setiap kali mereka bertanya kenapa aku belum jatuh cinta lagi, aku selalu ingin menjawab karena aku belum selesai mencintaimu.


Bukan aku tidak ingin bahagia.

Aku hanya belum menemukan cara untuk bahagia…

Tanpa mengkhianati kenangan kita.

Dan sungguh, itu tidak adil.

Untukku. Untukmu.


Untuk cinta kita yang tak pernah sempat selesai.





Semestaku




Aku rindu caramu menatapku seperti dunia tak lagi punya luka.

Tatapan yang hangat, seolah aku adalah satu-satunya hal yang kau percaya bisa sembuhkan segalanya.


Aku rindu senyummu, yang tidak pernah setengah itu.

Yang muncul dari sudut bibir lalu menular pada seluruh wajahmu.

Dan selalu berakhir memeluk hatiku tanpa bicara.


Aku rindu jemarimu, yang mengelus pelan wajahku saat aku lelah menangis.

Tak pernah ada kata yang kau ucap, tapi sentuhanmu selalu menenangkan, seakan berkata “aku tetap di sini.”


Semuanya darimu terasa seperti semesta kecil yang kau bangun khusus untukku.


Langkahmu mendekat selalu tahu kapan aku takut.

Pelukmu tahu kapan aku butuh dijaga.

Dan suaramu tahu kapan aku butuh keyakinan.


Kini yang tersisa hanya bayanganmu.

Tapi tetap saja, rasanya seakan kau masih memelukku lewat angin yang berhembus.

Masih tersenyum lewat mimpi yang datang diam-diam.


Dan mungkin… aku belum sepenuhnya sendiri.

Karena seluruh tentangmu, masih berporos padaku.





Langit Sore di Tempatmu Terdiam




Langkahku perlahan menyusuri jalan setapak yang mulai ditelan oleh bayang-bayang senja.

Suara burung walet terdengar samar di atas dahan, mereka seperti sedang berpamitan pulang ke sarangnya masing-masing.

Sedangkan aku, justru mendatangi tempat yang akhir akhir ini sering kali kusebut pulang.


Aku duduk di dekat pusaramu

Tak banyak bicara, hanya menatap gundukan tanah itu sambil membiarkan angin membelai rambutku.

Mereka bilang kau telah tenang

Tapi kenapa aku yang masih gelisah?


Aku meraba batu nisanmu seperti meraba punggungmu dulu, mencari hangat yang sudah tak ada.

Sambil membawa beberapa tangkai bunga kesukaanmu, dan segenggam cerita yang tak sempat selesai.


Di tempat ini, aku selalu merasa ganjil.

Ada perasaan ingin marah, tapi juga ingin menangis dan memeluk gundukan itu, memaksamu kembali.

Tapi tentu saja, tak ada yang bisa kembali dari yang sudah benar-benar pergi.


Burung-burung mulai menghilang, langit pun menggelap pelan, dan aku masih di sini, berbincang dengan diam, dengan tanah, dengan sore yang tahu betul, bahwa aku belum pernah benar-benar melepaskanmu.





Yang Tak Pernah Terjadi




Kita pernah menuliskan daftar hal-hal yang ingin kita lakukan bersama.


Tertawa di bawah air terjun kecil.

Mengukir lilin cair diatas selembar kain batik.

 Menyusuri gang sempit kota tua.

Mencoba kopi paling pahit di sudut kafe.

Atau sekadar duduk diam di taman sambil mendengar lagu kesukaanmu.


Semuanya tertulis rapi dengan tanganmu, dengan harap yang begitu terang.


Tapi sekarang, daftar itu hanya menjadi dokumen yang tak lagi tumbuh.

Tidak ada yang dicoret, tidak ada yang ditandai "sudah selesai".


Sebab kamu pergi… terlalu cepat.

Terlalu tiba-tiba untuk semua yang ingin kita wujudkan.


Buku kamus Rusia yang dulu kamu pelajari masih ada di rak bukuku.

Dua sweater rajut yang ku pesan untuk rencana kita pergi ke kota dingin itu, masih kulipat rapi dalam lemari.

Dan dua tiket konser yang kita tunggu-tunggu, masih tersimpan dalam amplop, belum pernah disentuh.

Aku menatap semuanya seperti menatap masa depan yang dibekukan.

Tak bisa disentuh, tak bisa diselamatkan.


Kadang aku berpura-pura kamu masih di sini.

Masih membicarakan rencana itu, menambahkan hal baru, dan tertawa ketika aku mengusulkan ide konyol.


Tapi kenyataannya, rencana tinggal rencana.

Dan aku, kini hanya penunggu daftar yang tak akan pernah selesai.





Sabtu, 14 Juni 2025

Gila Karena Ingat




Semua orang memintaku untuk "melupakanmu", tapi aku tidak diajarkan bagaimana caranya. 

Memaksa ku untuk "mengiklaskanmu" yang aku sendiri tidak tahu apa arti dari kata tersebut.

Aku terlampau bodoh jika menyangkut tentang mu.

Entah benar-benar bodoh atau dengan sengaja menutup mata dan telinga

Karena rasanya aku masih ingin tetap di sini, dikelilingi hadirnya kenangan saat kita masih bersama, hanya itu saja.


Aku sering kali disebut wanita gila, hanya karena berharap pada seseorang yang sudah tidak ada raganya lagi di bumi ini. 

Dan hey... Aku tidak segila itu, aku hanya mencoba memeluk dan merekam dengan jelas segala memori yang tertinggal, tidakkah beri aku waktu sebentar?

Setidaknya sampai aku benar-benar paham dengan dua kata yang kalian paksakan kepadaku.

Mencari Jalan Pulang




Kemana aku harus melangkah?

Jalan-jalan yang dulu kukenal kini terasa asing.

Tak ada tanda, tak ada jejak yang tersisa.

Apa pulang masih berarti jika yang kutuju tak lagi sama?

Kemana arah jalan pulang?

Jejak telah pudar, langkah terasa asing.

Langit tak lagi sama, dengan angin berbisik samar.

Adakah rumah menunggu, atau hanya bayang yang tertinggal?

Apa yang sebenarnya kucari?

Rumah? Atau sekedar bayangan yang tertinggal dalam ingatan?

Jika aku kembali, akankah mereka masih mengenali?

Atau hanya menyapa tanpa benar-benar menerima?

Dan apa arti kembali pulang?

Jika yang dituju tak lagi sama seperti dulu?

Jika pintu yang diketuk hanya mengerat nama.

Bukan raga yang pernah singgah di sana.



Masih Kutunggu




Aku mencoba menyusulmu dalam diam, menelusuri jejak yang kau tinggalkan tanpa petunjuk arah. 

Tapi langkahku selalu terpeleset oleh bayanganmu yang tak mau diam. 

Aku terus memanggilmu, meski tahu suaramu sudah lama tak lagi tinggal di sini.

Aku masih menyiapkan tempat dudukmu di sisi ranjang, padahal sudah lama tak ada pintu yang diketuk. 

Kupikir, jika aku cukup sabar, waktu akan berbaik hati memutar arah, mengembalikanmu ke beranda kenangan kita.

Tapi rupanya aku terlalu pandai berharap.

Sebab yang kau beri hanyalah punggung, bukan peluk.

Yang kau tinggal hanyalah senyap, bukan pesan.

Kupeluk bayanganmu malam ini, seperti biasa.

Dingin, tapi tetap kuanggap hangat.

Sakit, tapi tetap kuanggap sembuh.

Kau bilang aku harus belajar melepas.

Tapi siapa yang mengajariku cara tak mencintaimu?

Bayang di Balik Tirai




Setiap pagi aku membuka jendela.

Bukan untuk menyambut matahari, tapi untuk melihat apakah bayangmu masih tertinggal di tirai.

Dan ternyata, iya. 

Masih ada siluet samar yang menyerupaimu.

Atau mungkin itu hanya pantulan dari hatiku yang belum benar-benar rela.

Aku tak tahu caranya menghapus yang tak pernah benar-benar kau beri.

Kau hadir seperti angin seolah menyentuh, tapi tak bisa kupeluk.

Dan sekarang aku di sini, menyapamu lewat udara.

Menyebut namamu di sela hembusan napas.

Seolah kamu masih di antara dinding ini.

Waktu Untuk Sembuh




Katanya waktu akan menyembuhkan, tapi setiap hari justru semakin membuatmu nyata.

Jadi aku harus menunggu sampai berapa lama lagi?

Aku berusaha sibuk, berusaha tidak menyebut namamu, berusaha melupakanmu bahkan dari hal-hal kecil.

Tapi siapa yang bisa melupakan detak jantungnya sendiri?

Kamu sudah menyatu terlalu dalam.

Bukan di pikiran, tapi di dalam nafas.

Dan aku masih menyebut namamu.

Dalam diam

Dalam malam

Dalam luka yang tidak sembuh, karena tidak pernah benar-benar pergi.

Kamis, 12 Juni 2025

Ingatan yang Tertinggal




Mereka bilang kamu sudah melupakan semuanya.

Bahwa aku hanya satu dari sekian banyak cerita yang tak ingin kamu ulangi.

Tapi yang mereka tidak tahu, aku masih ingat segalanya.

Warna bajumu saat pertama kali kita bertemu, rambutmu yang tertiup angin menggoda tanganku untuk menyentuhnya, jejak wangi parfum mu yang masih tertinggal, kata-kata acak yang kamu lontarkan saat gugup, bahkan tawa kecilmu ketika lupa arah pulang.

Kau sudah jauh, aku tahu.

Tapi ingatan itu masih tinggal di sini,

menetap seperti tamu yang tak tahu diri.

Bukan kamu yang lupa, tapi aku yang belum selesai mencintai diam-diam.

Aksara yang Tak Pernah Selesai




Aku menulis tentangmu dalam aksara lama, yang hurufnya bergetar tiap kali kusebut namamu.

Kata demi kata kutata, namun tak satu pun mampu menampung sesak ini.

Kau... Adalah puisi yang tak selesai ditulis. Terhenti di tengah bait, tepat ketika kau memilih pergi tanpa pamit.

Aku mencoba membacamu ulang, dari awal hingga titik terakhir.

Namun tak jua kutemukan akhir yang layak.

Kau tetap jadi cerita yang menggantung di langit-langit ingatan dan abadi dalam diam, terkunci dalam kenang.

Rahasia si Gelap Malam




Aku menunggumu seperti langit menanti rembulan yang tak tahu kapan, tapi terus berharap.

Tuan, kau bawa serta semua nyala dalam pelita jiwaku. 

Kini bahkan malam pun bungkam, enggan berbisik kisah yang dulu kita rajut bersama.

Apakah kau pernah ingat tanganku yang gemetar tiap kali menyebut namamu dalam do'a?

Ataukah semua itu sudah tenggelam?

Di dasar hati yang telah kau segel dengan kepergian?

Sungguh, yang kupeluk kini hanyalah udara yang tak punya suara.

Senin, 09 Juni 2025

Sisa Rintik di Pundakku




Sudah berulang kali kubilang pada langit, aku tak butuh hujan malam ini.

Tapi tetap saja, ia turun perlahan.

Seperti tahu, bahwa dadaku tak lagi sanggup menampung luka yang tak sempat kusebutkan namanya.

Ada sisa rintik yang menetap di pundakku, mungkin sisa dari kenangan yang kau tinggalkan, yang tak pernah benar-benar kering meski waktu terus berjalan.

Aku berjalan sendirian menyusuri sisa jalan yang dulu pernah kita lewati bersama, dengan bayangmu yang masih menyelinap di sela-sela basah udara.

Jika pun aku menangis malam ini,

bukan karena ingin kembali, tapi karena tahu tak ada yang bisa kembali.

Hujan si Pengamat Rindu




Hujan tahu, aku belum benar-benar selesai. Ia datang seperti biasa, membawa bau tanah yang dulu kamu suka, dan tetesnya yang menjatuhkan segala kenangan dari langit-langit pikiranku.


Tak ada percakapan.

Tak ada pertemuan.


Hanya diam yang terlalu sering mengisi ruang ini, ruang yang dulu pernah menjadi saksi bagaimana kita menertawakan waktu.

Sekarang, aku bahkan lupa bagaimana rasanya menertawakan apapun tanpamu.

Dan hujan... Ia hanya terus turun.

Seperti sedang menyalin seluruh kesedihanku dalam bahasa yang tak bisa dibantah siapa-siapa.

Mungkin Salahku?




Mungkin bukan dia yang salah.

Mungkin aku terlalu cepat jatuh, terlalu dalam, terlalu berharap.

Aku yang salah karena tak menetapkan batas, membiarkan diriku larut dalam skenario yang hanya aku yang percaya.

Mengapa aku tak bisa menjaga hatiku sendiri?

Mengapa selalu kubiarkan ia remuk dulu sebelum sadar?

Aku ingin marah.

Bukan pada siapa pun, hanya pada diri ini, yang terlalu lemah untuk berkata cukup.

Dalam Diam yang Merindu




Aku sering berdialog dengan sunyi.

Berharap ia bisa memberi tahu bagaimana cara melupakanmu.

Tapi diam terlalu pandai menyembunyikan jawab.

Ia hanya menggema, menertawakanku yang masih saja menetap di tempat yang kau tinggalkan.

Tiap malam aku mengisi kekosongan dengan ingatan.

Tak ada yang baru, semuanya masih tentangmu, yang bahkan tak pernah kembali.

Mereka bilang aku harus membuka lembaran baru, padahal aku bahkan belum selesai membaca halaman terakhir tentang kita.

Dan kadang aku ingin percaya, bahwa diamku cukup untuk kau dengar.

Tapi kenyataannya, hanya aku yang masih menunggu.

Tentangku




Bukan lagi tentangmu, ini tentang aku yang tak tahu caranya untuk sembuh.

Tentang aku, yang tiap malam masih menatap atap kosong dan bertanya.

"Kenapa aku tak cukup baik untuk dipilih?"

Aku tahu aku bukan satu-satunya yang patah, tapi kenapa lukaku terasa sepi sekali?

Aku berdamai dengan rindu, tapi tidak dengan aku sendiri.

Selalu ingin menyalahkan sesuatu, padahal tahu ini semua karena aku menaruh terlalu banyak hati, di tangan yang tak menggenggam.

Ini bukan tentangmu lagi.

Ini tentang aku yang belum bisa berhenti menyiksa diri.

Kabar Palsu




Sudah, aku baik-baik saja.

Begitu kataku setiap kali ada yang bertanya tentangmu.

Padahal nyatanya, aku hanya pandai berbohong pada dunia, juga pada diriku sendiri.

Aku masih menyimpan banyak hal yang seharusnya kulepaskan.

Masih menyentuh ruang kosong di sebelahku dan berharap kau ada di sana.

Tapi aku terlalu lelah untuk berharap, terlalu sadar bahwa kau takkan kembali.

Jadi aku diam.

Menjalani hari-hari tanpa menggugat apa pun.

Mengisi waktu dengan tawa palsu, tidur yang tak pernah utuh, dan doa-doa yang tak menyebut namamu lagi… setidaknya tidak dengan suara keras.

Mereka bilang aku kuat.

Padahal aku hanya sedang menunggu saat hancur yang lebih sepi dari sebelumnya.

Tanah Merah Favoritku




Ada aroma tanah basah yang masih lekat di ujung jariku, bekas dari tempat yang kini tak pernah benar-benar kuanggap asing, meski tak lagi ada sapaan hangat yang menyambutku.

Langkahku berat, tapi tetap kutempuh.

Sesekali angin menggugurkan kelopak kecil yang seharusnya jatuh ke bumi, tapi entah kenapa memilih jatuh ke pundakku.

Seperti pesan kecil yang tertinggal, seperti namamu yang enggan benar-benar hilang.

Tak banyak yang kubicarakan di sana,

hanya gumam lirih dan tatapan panjang ke arah batu yang sunyi.

Diam, seperti hatiku.

Diam, seperti semestanya kini.

Lalu aku pulang, membawa sejumput tanah merah di ujung sepatu, dan sepotong rindu yang semakin tak tahu harus ditanam di mana.

Semuanya Masih Sama



Masih kusimpan kelopak bunga itu.

Yang dulu kau sisipkan di balik halaman buku, bersama catatan kecil yang kini mulai pudar tintanya.

Bunganya telah kering, warnanya mulai memudar, tapi entah kenapa aku tak pernah bisa membuangnya.

Mungkin karena ia adalah satu-satunya hal yang tak meninggalkanku, setidaknya secara fisik.

Lucu, ya?

Sesuatu yang mati, justru lebih setia tinggal dibanding yang masih hidup.

Aku tak lagi menangisinya, tapi juga belum bisa merelakannya.

Seperti menyimpan luka dalam bentuk paling estetis, agar sakitnya tak terlalu tampak bagi mata yang lain.

Kau tahu?

Setiap kali kutemukan kelopak itu, aku seolah dihadapkan lagi pada versi diriku yang masih kau cintai, dan itu rasanya asing sekali.




Yang tertinggal di Ujung Ombak



Angin pantai sore ini mengacak rambutku sembarangan, seolah tahu ada kekacauan yang lebih dulu bersarang di dalam kepala.

Aku duduk di tepian, membiarkan kakiku dijilat ombak kecil yang tak pernah lelah datang dan pergi.

Katanya laut adalah tempat yang paling baik untuk melepas.

Tapi apa jadinya jika yang ingin dilepas justru duduk diam di dadamu, menolak hanyut meski sudah berkali-kali kau seret ke ujung dermaga?

Suara debur ombak mengingatkanku pada tawamu, yang keras tapi tenang, menyebalkan tapi masih kurindukan.

Dan di tengah gemuruh ini, aku menyadari, bukan kamu yang kutunggu kembali.

Tapi aku, yang dulu…Yang sempat percaya pada kata "Selamanya."

Dan angin itu berhembus lagi, membawa sisa-sisa rindu yang tak sempat kukirimkan padamu.




Bisikan Angin Kota




Kota ini dulu tak pernah diam.

Setiap sudutnya pernah menyimpan tawa kita, langkah kita, bahkan diam-diam kita yang saling menatap saat tak ada yang perlu dikatakan.

Kini, kota yang sama jadi sunyi bukan main.

Trotoar yang dulu kita pijak berdua kini jadi terlalu luas untukku sendiri.

Lampu jalan masih menyala seperti biasa, tapi cahaya itu tak lagi memantulkan bayangan kita berdua.

Aku berjalan melewati kafe tempat kita biasa duduk lama, membahas hal-hal kecil seakan dunia ini hanya milik dua orang yang sedang jatuh cinta.

Ternyata, dunia tetap berputar bahkan setelah kamu berhenti menoleh.

Di jendela toko buku, aku melihat pantulan wajahku, bukan sebagai seseorang yang ditinggalkan, tapi seseorang yang masih berharap dilihat dari kejauhan.


Kota ini belum lupa

Tapi kamu sudah.


Dan aku... Masih belajar berjalan tanpa mencarimu di setiap cahaya lampu kota yang sendu.





Minggu, 08 Juni 2025

Patah di Balik Coklat Terakhir




Kamu tau? Aku masih menyembunyikan sesuatu yang kamu berikan dulu, bungkusnya sudah kusut, warnanya bahkan pudar, tapi baunya masih tetap sama, coklat manis yang kamu berikan waktu itu.

Katamu, "Ini bukan yang paling enak, tapi ini kesukaanku."

Dan aku menerimanya seperti menerima bagian dari dirimu.

Aku tertawa saat melihatnya, ternyata satu batang coklat bisa jadi warisan rasa paling rumit.

Setiap kali kulihat bentuknya di rak swalayan, ada yang menyesak dalam dadaku.

Seolah tubuhku ingat bahwa tanganmu pernah meraihnya lebih dulu dari hatiku.

Aku tak pernah memakannya. Bukan karena aku ingin terus mengenangmu.

Tapi karena aku takut kehilangan alasan kecil untuk merasa kamu masih di sini.

Coklat itu patah di dalamnya. Sama sepertiku.

Terbelah oleh waktu, disisakan kenangan yang tak sempat dihabiskan.

Dan kamu tahu apa yang paling menyakitkan?

Bukan karena kamu pergi, tapi karena kamu tak pernah tahu bahwa coklat kecil itu aku jaga seperti aku dulu menjaga kamu dalam diam, dalam-dalam.





Ini Bukan Puisi

(Tulisan ini dilahirkan olehku dan temanku Ongku) Aku bukan penyair , hanya perasa yang mencoba bersuara . Aku tak sedang menulis puisi , ak...